Rasulullah saw adalah
perjalanan horisontal
dari Mekkah ke
Palestina. Dari apa yang
saya uraikan di bagian
depan, perjalanan itu
hanya ditempuh Nabi
dalam waktu tidak
sampai 1 detik. Kenapa
bisa secepat itu? Karena
Nabi Muhammad, Jibril
dan Buraq melesat
dengan kecepatan
cahaya, 300.000
km/detik. Maka, jarak
Mekkah Palestina yang
hanya sekitar 1.500 km
itu pun tidak terlalu
berarti bagi mereka.
Sesampai di masjidil
Aqsha, Rasulullah saw
sempat melakukan
shalat bersama malaikat
Jibril, sebelum kemudian
melanjutkan perjalanan
ke langit ke tujuh.
Perjalanan berikutnya
adalah sebuah
perjalanan yang
memiliki mekanisme
berbeda dengan etape
pertama.
Pada etape pertama,
Rasulullah saw
melakukan perjalanan
dengan badan wadag
yang telah diubah
menjadi badan cahaya.
Akan tetapi sesampai di
masjidil Aqsha badan
Nabi telah berubah
kembali menjadi badan
material sebagaimana
sebelumnya. Ini adalah
etape teleportasi,
sebagaimana
digambarkan dalam
berbagai film science
fiction. Akan tetapi
pada etape kedua,
beliau tidak lagi
menggunakan
mekanisme tersebut
melainkan melakukan
perjalanan dimensional.
Ini adalah bagian yang
sangat abstrak dan agak
rumit dijelaskan. Akan
tetapi, dengan berbagai
perumpamaan dan
analogi, mudah-
mudahan pembaca bisa
mengikuti apa yang
akan saya sampaikan di
bagian-bagian berikut
ini.
Ada beberapa
pertanyaan yang harus
dijawab berkaitan
dengan perjalanan
menuju langit ke tujuh
ini. Untuk menghindari
kesalah pahaman, maka
kita harus menyamakan
dulu persepsi tentang
beberapa hat. Di
antaranya adalah hal-
hal berikut ini.
1. Apakah yang disebut
langit?
2. Di langit manakah
Bumi kita berada?
3. Apa dan
bagaimanakah langit
berlapis tujuh?
4. Bagaimana Rasulullah
saw bisa melakukan
perjalanan menembus,
langit satu sampai ke
tujuh?
5. Apakah yang terjadi
ketika berada di
Sidratul Muntaha?
MEMAHAMI LANGIT
Banyak di antara kita
yang memiliki persepsi
berbeda tentang langit.
Ada yang berpendapat
bahwa langit adalah
sebuah 'atap' alias
bidang pembatas ruang
angkasa. Artinya,
mereka mengira bahwa
ruang di atas kita ada
pembatasnya, semacam
atap. Kelompok
pertama ini, biasanya
adalah mereka yang
awam tentang ilmu
Astronomi.
Kelompok kedua adalah
mereka yang mengikuti
berbagai macam
informasi tentang
angkasa luar dari
berbagai film-film fiksi
ilmiah, ataupun
berbagai macam media
massa. Pada umumnya
mereka mengerti bahwa
yang dimaksud langit
adalah sebuah ruang
raksasa yang berisi
triliunan benda-benda
langit, seperti matahari,
planet-planet (termasuk
Bumi), bulan, bintang,
galaksi, dan lain
sebagainya. Mereka
memperoleh
pemahaman yang lebih
baik bahwa langit
bukanlah sebuah bidang
batas, melainkan
seluruh ruang angkasa
di atas kita.
Kelompok yang ketiga
adalah mereka yang
mempelajari informasi
Astronomi lebih banyak
dan lebih detil. Lebih
jauh, mereka mencoba
memahami berbagai hal
yang berkait dengan
struktur langit lewat
berbagai teori-teori
Astronomi. Mereka
terus-menerus
mengikuti berbagai
informasi dan mencoba
melakukan rekonstruksi
terhadap struktur
langit, yang secara
umum dipahami sebagai
alam semesta atau
Universe.
Nah, dari ketiga
kelompok pemahaman
itu saya ingin
mengambil kesimpulan
yang bersifat global
saja, sebagai pijakan
awal pemahaman kiia
tentang langit. Bahwa
yang disebut langit
sebenarnya bukanlah
sebuah bidang batas di
angkasa sana,
melainkan sebuah ruang
tak berhingga besar
yang memuat triliunan
benda-benda angkasa.
Mulai dari batuan
angkasa yang berukuran
kecil, satelit semacam
bulan, planet-planet,
matahari dan bintang,
galaksi hingga
superkluster.
Karena itu, jika kita
bergerak ke langit naik
pesawat angkasa luar,
misalnya, maka kita
akan bergerak menuju
ruang angkasa yang
tidak pernah ada
batasnya. Sehari,
seminggu, sebulan,
setahun dan seterusnya
kita bergerak ke
angkasa, maka yang
kita temui hanya ruang
angkasa gelap yang
berisi berbagai benda
langit saja. Sampai mati
pun, kita tidak akan
pernah menemukan
pembatasnya. Ya, langit
adalah ruang angkasa
yang luar biasa
besarnya. Bahkan, tidak
diketahui dimana
tepinya.
Nah, pemahaman
tentang langit ini
penting untuk
menyamakan persepsi
kita tentang perjalanan
Mi'raj Rasulullah saw.
Sebab, dalam
pemahaman tradisional
selama ini, kita
memperoleh kesan
betapa langit itu
digambarkan sebagai
atap alias 'langit-langit'.
Bahkan digambarkan
pula sebagai atap yang
ada pintu-pintunya,
yang kemudian mesti
dibuka sebagaimana
pintu rumah, ketika
Rasulullah saw mau
memasuki langit yang
lebih tinggi.
Istilah langit dalam
bahasa Inggris,
barangkali memberikan
gambaran yang lebih
jelas: Sky. Dalam bahasa
Indonesia lebih pas
disebut sebagai
'Angkasa'. Istilah lainnya
adalah space. Sehingga,
angkasa di luar Bumi
disebut sebagai Outer
Space. Jadi langit adalah
Ruang Angkasa.
Pemahaman tentang
langit adalah
pemahaman yang cukup
rumit. Apalagi jika
dikaitkan dengan
struktur langit yang
tujuh. Untuk langit
pertama saja, tidaklah
mudah. Bahkan sampai
sekarang ilmu
Astronomi masih
menemui berbagai
kendala yang agak
rumit dalam
mempersepsi struktur
alam tersebut. Akan
tetapi, Insya Allah
semuanya berangsur-
angsur bisa dijelaskan.
Di dalam Al-Qur'an,
Allah secara jelas dan
berulangkali
menginformasikan
bahwa langit yang Dia
ciptakan itu memang
bukan hanya satu,
melainkan 7 lapis,
sebagaimana
diinformasikan dalam
ayat berikut ini.
QS. At Thalaq (65): 12
"Allah-lah yang
menciptakan tujuh
langit dan seperti itu
pula Bumi. Perintah
Allah berlaku padanya,
agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha
Kuasa atas segala
sesuatu, dan
sesungguhnya Allah,
ilmu Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu."
QS. Al Mulk (67): 3
"Yang telah
menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis,
kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan
Tuhan Yang Maha
Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat
sesuatu yang tidak
seimbang?"
Dan masih ada beberapa
ayat lagi yang bercerita
tentang langit yang
tujuh. Cuma, kita mesti
mencermati
penggunaan kata langit
(assamaa' dan
assamaawaat - tunggal
dan jamak). Kata-kata
ini ternyata digunakan
oleh Allah untuk
menggambarkan ruang
di atas Bumi, baik yang
berarti atmosfer,
maupun yang berarti
angkasa luar.
Penggunaan kata langit
yang bermaksud untuk
angkasa luar, misalnya
adalah yang terdapat
dalam ayat-ayat di atas.
Dan juga ayat berikut
ini.
QS Fushilat (41): 12
"Maka Dia
menjadikannya tujuh
langit dalam dua masa
dan Dia mewahyukan
pada tiap-tiap langit
urusannya. Dan Kami
hiasi langit yang dekat
dengan bintang-bintang
yang cemerlang dan
Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan
Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui."
Di ayat tersebut
tergambar jelas sekali
bahwa Allah
menggunakan kata as
samaawaat untuk
menggambarkan
angkasa luar. Kenapa
ada kesimpulan begitu?
Karena Dia
menggambarkan bahwa
langit yang dekat dihiasi
dengan bintang-bintang.
Dan kita tahu semua
bahwa bintang-bintang
itu bukan terdapat di
atmosfer, melainkan di
ruang angkasa.
Maka, ketika Allah
bercerita tentang langit
yang tujuh di ayat
tersebut, langit yang
dimaksudkan adalah
langit alam semesta
yang jumlahnya 7
tingkat.
Akan tetapi, di ayat-
ayat yang lain Allah
menggunakan kata-kata
assamaa' dan
assamawaat untuk
menggambarkan
atmosfer Bumi. Hal itu,
misalnya, terdapat pada
ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah (2): 29
"Dia lah Allah, yang
menjadikan segala yang
ada di Bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak
menuju langit, lalu
dijadikan Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala
sesuatu."
Di situ digambarkan
betapa Allah
menciptakan segala,
sesuatu di Bumi untuk
manusia. Kemudian Dia
memproses langit yang
tujuh. Di ayat ini Allah
menggunakan kata
'langit', untuk atmosfer.
Kenapa demikian,
karena langit tersebut
ternyata diproses
setelah Bumi terbentuk.
Jika yang dimaksudkan
adalah langit alam
semesta, hal itu menjadi
tidak cocok. Karena
sesungguhnya proses
terbentuknya langit
semesta lebih dulu
dibandingkan dengan
Bumi. Planet Bumi
adalah bagian dari
langit semesta,
disamping miliaran
matahari dan triliunan
planet yang ada.
Ayat lain yang
menunjukkan 'langit'
sebagai atmosfer
terdapat pada ayat-ayat
berikut ini.
QS. Ruum (30): 48
"Allah, Dialah yang
mengirim angin, lalu
angin itu menggerakkan
awan dan Allah
membentangkannya di
langit menurut yang
dikehendaki Nya, dan
menjadikannya
bergumpal-gumpal; lalu
kamu lihat hujan ke luar
dari celah-celahnya,
maka apabila hujan itu
turun mengenai hamba-
hamba Nya yang
dikehendaki Nya tiba-
tiba mereka menjadi
gembira."
Karena 'langit' di sini
dikaitkan dengan hujan,
kita lantas bisa
mendapatkan gambaran
bahwa yang
dimaksudkan adalah
atmosfer. Maka, ketika
Allah menyebutkan
bahwa langit tersebut
ada tujuh, orientasi
pemahaman kita menuju
kepada lapisan-lapisan
atmosfer yang memang
ada tujuh lapis, yaitu:
Troposfer, stratosfer,
ozonosfer, mesosfer,
ionosfer, eksosfer, dan
magnetosfer.
Pemakaian kata 'langit'
untuk dua hal yang
berbeda ini seringkali
membingungkan mereka
yang kurang akrab
dengan masalah
astronomi. Mereka
rancu menyamakan
antara atmosfer dengan
langit ruang angkasa.
Hal itu, misalnya,
terlihat dari
pemahaman mereka
terhadap ayat ayat
berikut ini.
QS. Al Baqarah (2): 22
Dialah Yang menjadikan
Bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-
buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu
janganlah kamu
mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah,
padahal kamu
mengetahui."
QS. Al anbiyaa (21): 32
"Dan Kami menjadikan
langit itu sebagai atap
yang terpelihara,
sedang mereka
berpaling dari segala
tanda-tanda (kekuasaan
Allah) yang terdapat
padanya."
Ayat-ayat di atas
menceritakan bahwa
langit berfungsi sebagai
atap. Hal ini memang
cocok dengan fungsi
atmosfer sebagai
pelindung Bumi.
Keberadaan atmosfer
telah melindungi Bumi
dari 'serangan' batu-
batu langit yang setiap
hari berjatuhan ke arah
Bumi. Batu-batu yang
masuk ke atmosfer Bumi
telah dihadang olehnya,
untuk kemudian dibakar
oleh gesekan udara
yang memiliki
kecepatan putar lebih
dari 1600 km per jam.
Jadi dalam hal ini,
atmosfer telah berfungsi
sebagai atap yang
melindungi Bumi.
Persoalannya menjadi
lain ketika kita
berbicara tentang langit
yang bukan atmosfer.
Karena langit angkasa
luar tersebut berupa
ruang yang sangat
besar, berisi triliunan
benda langit. Bukan
berupa lapisan-lapisan
udara seperti yang
terdapat dalam
atmosfer kita.
Maka, ketika Allah
menyebutnya sebagai
berlapis tujuh, cara
pemahamannya berbeda
dengan memahami
atmosfer Bumi. Disinilah
banyak yang terjebak
pada pemahaman yang
rancu antara keduanya.
Kerancuan itu, misalnya,
terlihat dari
pemahaman langit
sebagai atap. Banyak
beredar pemahaman di
kalangan umat Islam,
katanya, langit alam
semesta ini berbentuk
atap, sebagaimana
dijelaskan pada ayat-
ayat di atas. Padahal
penjelasan itu terkait ke
langit atmosfer. Bukan
langit semesta.
Sehingga, tafsir yang
muncul terhadap langit
berlapis tujuh itu
menjadi begitu
sederhana dan naif.
Bahwa, langit alam
semesta dipersepsi
bertumpuk-tumpuk
seperti kue lapis. Lapis
pertama adalah langit
pertama, lapis kedua
adalah langit kedua dan
seterusnya sampai
langit yang ke tujuh.
Hal ini tentu saja tidak
sesuai dengan
kenyataan yang ada.
Dan bisa menjadi bahan
olok-olok yang tidak
mengenakkan hati dari
orang-orang yang tidak
suka kepada Islam.
Tentu, kita harus
memberikan penafsiran
yang lebih proporsional,
sesuai kenyataan ilmiah.
LANGIT PERTAMA
Barangkali kita telah
sepaham, bahwa yang
disebut langit adalah
'ruang' tak berhingga
besar yang terhampar di
atas kita. Baik bagi kita
yang berada di
Indonesia, maupun yang
di balik Bumi Indonesia,
yaitu di Amerika. Sekali
lagi langit adalah
ruangan raksasa yang
berisi triliunan benda
langit seperti planet,
bulan, meteor,
matahari, nebula,
galaksi, superkluster,
dan lain sebagainya.
Termasuk Bumi kita ini
berada di dalam langit.
Jadi langit adalah 'ruang
angkasa'.
Nah, Allah
menginformasikan di
dalam Al Qur'an bahwa
langit itu ada tujuh
tingkat. Langit yang
pertama adalah langit
yang dihuni oleh
manusia dan makhluk-
makhluk berdimensi 3,
seperti binatang,
tumbuhan dan benda-
benda mati, yang
terdapat di planet Bumi.
Ditambah lagi, segala
benda langit yang
mengisinya. Itu semua
adalah makhluk di langit
pertama. Langit
pertama itu di dalam
istilah agama disebut
sebagai 'Langit Dunia'.
Allah telah memberikan
gambaran yang menarik
di dalam Al Qur'an,
tentang langit Dunia itu.
QS. Fushshilat (41): 12
Maka Dia
menjadikannya tujuh
langit dalam dua masa
dan Dia mewahyukan
pada tiap-tiap langit
urusannya. Dan Kami
hiasi langit yang dekat
dengan bintang-bintang
yang cemerlang dan
Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan
Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui.
Artinya, seluruh ruang
angkasa yang berisi
triliunan bintang,
matahari, galaksi,
nebula, meteor, dan
segala benda langit
termasuk Bumi itu, oleh
Allah disebut sebagai
langit Dunia. Kata
'Dunia' memiliki arti
'dekat'. Jadi, maknanya
menjadi langit yang
dekat.
Padahal sebagaimana
kita tahu, bahwa langit
yang disebut 'dekat'
oleh Allah itu bukanlah
jarak yang dekat bagi
manusia. Saya sudah
pernah menyampaikan
bahwa jarak bintang
yang terdekat saja
membutuhkan waktu 428
tahun untuk datang ke
sana. Itu pun kalau kita
menggunakan pesawat
tercepat milik manusia,
misalnya Challenger,
atau Columbia yang
berkecepatan 20.000 km
per jam.
Kalau kita
menggunakan
kecepatan yang lebih
tinggi, katakanlah
cahaya sebagai
kecepatan puncak di
alam semesta ini waktu
tempuhnya juga masih
sangat lama, yaitu
butuh waktu 8 tahun,
baru sampai di bintang
terdekat itu. Apalagi
untuk menuju bintang-
bintang yang lebih jauh.
Ada yang membutuhkan
waktu sejuta tahun. Ada
pula yang memerlukan
waktu 1 miliar tahun.
Bahkan yang terjauh
bisa membutuhkan
waktu 10 miliar tahun!
Jadi, Langit Dekat itu,
bukanlah langit yang
kecil dan gampang kita
tempuh. Usia kita yang
cuma puluhan tahun ini
tidak berarti apa-apa
untuk menempuh jarak
antar bintang. Apalagi
untuk mengembara dan
mengarungi alam
semesta. Sama sekali
tidak mungkin!
Padahal kita sudah
menggunakan sebuah
cara yang juga
mustahil', yaitu naik
pesawat dengan
'kecepatan cahaya'.
Kenapa tidak mungkin?
Karena sungguh, tidak
ada benda apa pun di
alam semesta yang bisa
dipercepat mencapai
kecepatan cahaya.
Benda tersebut bakal
hancur, semburat
menjadi partikel-
partikel kecil sub
atomik. Secara lebih
detil, akan saya jelaskan
pada bagian lain.
Ada juga yang tidak
percaya dan
mempertanyakan:
apakah betul kecepatan
tertinggi di alam
semesta ini adalah
cahaya? Ya, begitulah
sains menbuktikan.
Memang ada semacam
'angan-angan' dan
harapan dari beberapa
kalangan supaya di alam
semesta ini ada
kecepatan yang lebih
tinggi dari cahaya,
supaya mereka bisa
menjelaskan beberapa
hal yang muskil.
Akan tetapi, sampai
sekarang keinginan itu
tidak pernah bisa
dibuktikan. Kecepatan
tertinggi di alam
semesta sampai
sekarang, tetap adalah
kecepatan cahaya, yaitu
300.000 km per detik.
Maka seluruh
penjelasan tentang
gerak di alam semesta
ini masih harus
berpatokan pada
kecepatan cahaya
tersebut. Sehingga,
perhitungan relativitas
waktu pun masih diukur
dengan kecepatan
cahaya.
Jadi, kembali lagi
kepada alam semesta,
ternyata alam semesta
kita ini memang
demikian besarnya.
Diperkirakan
diameternya mencapai
30 miliar tahun cahaya.
Artinya, jika cahaya
mencoba menyeberangi
alam semesta. dari tepi
kiri menuju tepi kanan,
ia butuh waktu selama
30 miliar tahun! Sungguh
sebuah ukuran yang
sangat besar!
Apalagi manusia. Jika
manusia menyeberangi
alam semesta dengan
menggunakan pesawat
ulang alik berkecepatan
20 km per jam, maka
waktu yang
diperlukannya adalah
sekitar 1,62 miliar miliar
tahun, alias 1,62 dengan
sepuluh pangkat 18
tahun. Sebuah hal yang
sangat muskil dilakukan
oleh manusia!
Diperkirakan alam
semesta ini memuat
partikel sejumlah 10
pangkat 81, yang
tersebar di seluruh
penjuru langit. Di
antaranya, yang
terbanyak adalah yang
berada di pusat alam
semesta. Yang lain
tersebar dalam bentuk
benda-benda langit dan
debu angkasa.
Termasuk, partikel-
partikel pembentuk
matahari, bintang,
nebula, dan planet Bumi.
Secara sederhana, alam
semesta ini boleh
diumpamakan seperti
sebuah bola raksasa
yang memuat triliunan
benda langit. Mulai dari
yang terkecil, debu-
debu angkasa, batu
meteor, batu komet,
batu asteroid, satelit,
planet, matahari,
bebagai jenis bintang-
bintang, galaksi, sampai
yang terbesar, super
cluster.
Seluruh benda langit itu
membentuk sistem
saling tarik-menarik dan
saling 'mengikat' lewat
gaya gravitasi. Coba
bayangkan, ada
triliunan kelereng yang
sedang mengambang di
awang-awang. Triliunan
benda itu semuanya
bergerak. Tidak ada
yang diam! Dan 'sedikit'
sekali terjadi tabrakan,
terutama pada kelereng-
kelereng yang
berukuran besar.
Karena masing-masing
kelereng itu memiliki
lintasan geraknya
masing-masing. Kecuali
benda-benda langit yang
bergerak bebas dan
tidak memiliki lintasan
orbit.
Kita melihat sebuah
'demonstrasi' kekuatan
yang Maha Dahsyat,
yang mengatur
keseimbangan gerakan
itu. Jika tidak, maka
sungguh seluruh benda
langit itu akan saling
bertabrakan, dan
menjadi kacaulah langit
kita.
Akan tetapi, yang
terjadi bukan begitu.
Meskipun sudah
berlangsung selama 12
miliar tahun, benda-
benda langit itu
bergerak secara
harmonis. Benda-benda
langit yang berukuran
besar, memiliki dua jenis
gerakan. Gerakan
pertama adalah gerakan
berputar pada dirinya
sendiri, yang dikenal
sebagai gerakan rotasi.
Sedangkan gerakan
kedua adalah gerakan
melingkari benda yang
lebih besar dari dirinya,
yang dikenal sebagai
gerakan revolusi.
Jadi bisa kita
bayangkan, betapa
benda yang paling kecil
adalah benda yang
paling 'pusing'. Ambillah
contoh, Bulan. Bulan
adalah satelit Bumi. la
berputar pada dirinya
sendiri. Selain itu, ia
juga mengitari Bumi
pada lintasan orbitnya
yang berjarak sekitar 1
menit cahaya alias
sekitar 18 juta km dari
Bumi.
Lintasan itu memiliki
pola yang tetap.
Sehingga pergerakan
Bulan bisa dihitung
secara akurat oleh
manusia. Katakanlah,
waktu terjadinya
gerhana Bulan. Manusia
telah bisa
memperkirakan kapan
bakal terjadi gerhana
Bulan di tahun tahun
mendatang. Karena itu,
pergerakan bulan ini
bisa dijadikan patokan
penanggalan alias
kalendar. Termasuk
kalendar Hijriyah yang
digunakan oleh umat
Islam. Satu kali
perputaran Bulan
mengelilingi Bumi
membutuhkan waktu 29
,5 hari.
Bukan hanya bulan yang
bergerak, tetapi juga
Bumi. Planet yang
memuat sekitar 5 miliar
manusia ini berputar
pada dirinya sendiri.
Satu kali rotasi
menghabiskan waktu 24
jam alias sehari. Selain
itu juga berputar
mengelilingi matahari
dalam kurun waktu 365
,25 hari, satu kali
putaran, yang disebut
sebagai setahun.
Maka kita melihat di
sini, bahwa bulan
mengelilingi Bumi pada
periode tertentu,
dengan cara tertentu.
Dan kemudian, Bumi
bersama Bulan,
mengelilingi matahari
pada periode tertentu
dengan cara tertentu
pula.
Nah, apakah Matahari
juga bergerak seperti
itu? Ternyata ya.
Matahari yang menjadi
pusat pergerakan
sembilan planet
termasuk Bumi ini,
ternyata juga bergerak
berotasi dan berevolusi.
Selama sekitar 5 miliar
tahun Matahari
bergerak berirama
bersama kesembilan
planet, yaitu Merkurius,
Venus, Bumi, Mars,
Yupiter, Saturnus,
Uranus, Neptunus, dan
Pluto; mengelilingi
sebuah Bintang yang
berukuran sangat besar
yang berada di pusat
Galaksi Bima sakti.
Galaksi Bima Sakti
beranggotakan sekitar
100 miliar matahari.
Kesemuanya berputar
mengelilingi pusat
galaksi yang berbentuk
cakram. Bumi dan
tatasurya kita terletak
di salah satu wilayah
agak ke pinggir dari
cakram tersebut.
Maka, Dalam satu
galaksi ini saja kita bisa
'melihat' betapa ada
bermiliar-miliar benda
langit yang sedang
bergerak dalam sebuah
irama yang sangat
harmonis. Ratusan
miliar matahari, dan
triliunan planet,
asteroid, satelit, serta
berbagai batu angkasa
sedang 'menari-nari'
dalam komposisi irama
galaksi Bima Sakti yang
sangat mengagumkan.
Namun, dari data
Astronomi juga
diketahui bahwa jumlah
galaksi di alam semesta
ini ternyata sangatlah
banyak., Bisa mencapai
ratusan miliar galaksi.
Bahkan boleh jadi
triliunan. Setiap saat,
para ahli astronomi bisa
menemukan sejumlah
gugusan bintang alias
galaksi lewat teleskop
Hubble atau Spitzer
atau Compton.
Ternyata, bukan hanya
matahari atau bintang-
bintang yang bergerak
secara berirama dalam
satu gugusan.
Melainkan, galaksi-
galaksi itupun bergerak
berotasi dan revolusi
mengelilingi sebuah
galaksi yang sangat
besar. Tidak kurang dari
100 miliar galaksi
diperkirakan bergerak
berirama membentuk
gugusan galaksi yang
disebut Supercluster.
Lagi-lagi kita melihat
sebuah orchestra alam
semesta yang luar biasa
dahsyatnya, dalam
sebuah parade triliunan
matahari yang 'menari-
nari' dengan cantik
sekali.
Sampai disinikah
besarnya alam semesta?
Ternyata tidak. Gerakan-
gerakan berputar dan
berirama itu terus
membesar, membesar
dan membesar. Dari
Bulan mengelilingi Bumi,
kemudian mengelilingi
Matahari, lantas
mengelilingi pusat
galaksi, dan berevolusi
mengitari pusat
Supercluster,
diperkirakan masih
terus membentuk
gugusan gugusan yang
lebih besar yang belum
ketahuan tepinya.
Meskipun, para. ahli
menyimpulkan alam
semesta ini besarnya
terbatas pada diameter
30 miliar tahun cahaya.
Tapi, disinilah manusia
mulai merasakan situasi
'kritis' atas
pemahamannya
terhadap alam semesta.
Mereka dihadang oleh
sebuah 'Kekuasaan' dan
'Kecerdasan' yang
Sangat Misterius, yang
sedang menggelar
sebuah Orkestra Maha
Dahsyat dalam skala
yang tidak
terbayangkan...
-----------