Pertama, sebuah masa dimana yang menjadi pusat perhatian hanyalah masalah isi perut, masalah makanan dan minuman.
Kedua, seseorang dinilai mulia, terhormat bukan karena kepribadiannya, bukan karena keluhungan ilmu dan ketinggian budi pekertinya tapi orang dinilai mulia dilihat dari jumlah harta kekayaannya; rumahnya yang mewah, mobilnya yang mahal, harta kekayaannya yang melimpah.
Ketiga, kiblat mereka adalah perempuan. Pada zaman itu segala urusan berorientasi pada perempuan. Kecenderungan sekarang pun kita menyaksikan di iklan-iklan, produk-produk; baik di media cetak ataupun elektronik, dikait-kaitkan dengan aurat perempuan, malah kadang antara produk yang diiklankan dengan aurat itu tidak ada hubungannya. Hanya sekedar untuk menarik perhatian. Gerakan feminis sekuler yang memperjuangkan gender equality (kesetaraan gender) pun, yang selalu berteriak soal terjadinya berbagai pelecehan seksual, bermaksud mengangkat martabat perempuan sederajat dengan laki-laki, tetapi justru apa yang mereka lakukan menjadi sebaliknya, tetap memposisikan wanita pada tataran kelas rendah. Dahulu kita mengecam keikutsertaan gadis-gadis Indonesia dalam kontes ratu kecantikan dunia tapi sekarang, disaat era reformasi justru hal seperti itu didukung, malah ketika ada ulama, ustadz, ahli ngaji mengkritik, mereka balik mengecam orang itu sebagai fanatik, sok suci. Padahal soal kecantikan bukanlah sebuah prestasi, kecantikan adalah given, pemberian dari Allah yang bukan untuk dikontes-konteskan melainkan untuk disyukuri.
Keempat, agama mereka adalah dinar dan dirham, rupiah dan dolar. Artinya, pada zaman itu -kata nabi-yang dipertuhan bukan lagi Allah, tapi yang dipertuhan oleh mereka adalah duit dan duit.
Kelima, pada zaman itu orang-orang alim, ustadz, ajengan, kyai, ulama, da'i tidak diikuti. Kalaupun ada hanya sebatas didengar tapi fatwa-fatwanya tidak diikuti. Ini menggambarkan pada zaman itu da'wah tidak lagi memiliki karisma, tidak lagi jadi idola. Kalaupun ada pengajian hanya didengar, dinilai bagus, tapi nasihatnya tidak berbekas didalam peningkatan kualitas perilaku keseharian.
Keenam, orang-orang yang bijak; pilar-pilar moral, para penjaga akhlak, penjaga moral, termasuk didalamnya us-tadz, kyai, polisi, jaksa, hakim, pengacara, tokoh masyarakat, para pemuka agama mereka sudah tidak lagi disegani.
Ketujuh, pada zaman itu orang-orang tua sudah tidak lagi dihormati. Di keluarga-keluarga, nasihat-nasihat orang tua dianggap angin lalu. Orang tua oleh anak-anaknya dianggap orang yang kuno, kuper, tidak tahu kemajuan. Mungkin karena kesalahan orang tua itu sendiri, lebih banyak tampil sebagai komandan bukan sebagai imam.
Kedelapan, anak-anak kecilnya malah tidak disayangi. Biasanya orangtua itu sangat menyayangi anak-anaknya, orang yang lebih tua menyayangi yang lebih muda. Tetapi, ketika anak-anak muda, anak-anak kita akhlaknya jelek, akhlaknya buruk, menjadi pembangkang, menjadi pendurhaka, orang tua banyak yang menjadi kesal terhadap anaknya itu.
Kesembilan, yang lebih parah lagi Nabi mengingatkan, pada zaman itu banyak orang tidak lagi mengenal mana yang ma'ruf mana yang munkar, yang salah dan yang benar susah dibedakan. Kalau orang sudah tidak tahu lagi mana yang halal mana yang haram, mana yang hak mana yang bathil, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, bisa dibayangkan itu suasana sebuah zaman yang sangat rusak. Ini semua akibat orangtua yang tidak mau mengenalkan anaknya dengan nilai-nilai keislaman de-ngan benar, hanya merasa cukup dengan pendidikan alakadarnya tentang Islam, hingga ketika anak itu dewasa tidak tahu lagi mana batas halal dan haram.
Lalu seorang sahabat bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah apa yang harus kami perbuat? (ketika zaman itu terjadi). Kata Rasulullah, kamu harus melarikan diri. Sahabat itu bertanya, Kemana melarikan dirinya? (Tentu saja bukan dalam arti melarikan diri pindah tempat, karena kemanapun kita pergi suasananya tidak jauh berbeda) Nabi bersabda, kamu kembali (melarikan diri) kepada Allah dalam arti meminta pertolongan Allah, kamu kembali kepada kitabnya yaitu Alquran dan sunnah Nabi-Nya.
Dari ungkapan Nabi tersebut kita lihat indikasinya sekarang sudah banyak terjadi, akibat manusia semakin jauh dari tuntunan agama (Islam), semakin jauh dari Alquran dan Assunnah.
Sementara dinegeri kita sudah sejak zaman kolonial Belanda upaya seku-larisme (pemisahan agama dari kehi-dupan masyarakat) dilakukan secara sis-temik. Agama digembar-gemborkan bah-wa itu urusan pribadi, agama urusannya hanya ada di tempat ibadah tidak boleh dibawa ke wilayah politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dsbnya.
Akibatnya kecenderungan dibidang politik adalah berkembangnya politik oportunistis, berlomba mengejar kedudukan, jabatan dengan berbagai cara tanpa memikirkan halal dan haram. Riswah, sogok menyogok menjadi hal yang lumrah dan biasa.
Ekonomi yang dikembangkan dinegeri ini juga bukan sistem ekonomi yang dikehendaki Allah. Seperti yang diisyaratkan Alquran, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr [59]:7).
Allah menghendaki harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja, yang dikenal dengan istilah ekonomi kapitalis, dimana harta kekayaan negara berputar diantara para pemegang kapital, para pemegang modal besar. Bahkan Nabi pun mengingatkan, "Jika harta kekayaan Negara hanya beredar pada para pemegang daulah (pejabat), maka halal bagi bangsa itu bencana."
Dibidang budaya, budaya yang berkembang dinegeri ini adalah budaya hedonistis dan permisif, budaya yang hanya mengejar kesenangan duniawi, longgar terhadap nilai-nilai agama. Kita saksikan bagaimana susahnya memberantas korupsi di negeri ini.
Bagaimana narkoba merajalela, prostitusi yang susah diberantas. Kalaupun agama dikembangkan, ada kecenderungan yang dikembangkan adalah agama yang sinkritik, paganistik, yang penuh dengan syirik, bid'ah, tahayul dan khurafat yang merusak akidah kita dan mu'amalah ummat.
Oleh karena itu menurut sabda Nabi tersebut di atas, tidak ada jalan lain lagi bagi kita kecuali kembali kepada Allah, memohon pertolongan Allah dan kembali mempelajari dan mengamalkan Alquran dan sunnah Nabinya.***